Menurut bahasa, guru diambil dari bahasa Arab yaitu ‘alima - ya’lamu, yang artinya mengetahui.[1] Dengan arti tersebut, maka guru dapat diartikan “orang yang mengetahui atau berpengetahuan”. Sebagaimana firman Allah swt.:
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”[2]
Guru juga bisa diambil dari kata ‘alima - ya’lamu yang artinya “mengajar”.[3] Dengan demikian, guru bukan hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan saja, akan tetapi dia harus mengerjakannya kepada orang lain. Sejalan dengan yang dikatakan oleh al-Ghazali:
Barangsiapa yang berilmu, beramal dan mengerjakan, berarti ia merupakan orang yang disebut sebagai hamba mulia di kerajaan langit. Ia bagaikan matahari yang menerangi orang lain dan menerangi diri sendiri. Ia seperti minyak wangi yang membuat orang lain ikut harum dan mengahrumkan dirinya sendiri. Sebaliknya orang yang berilmu namun enggan mengamalkannya, bagaikan buku yang memberi manfaat, sedangkan ia sendiri sepi dari ilmu. Bagaikan batu asahan yang menajamkan tetapi ia sendiri tidak mampu memotong.[4]
Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, guru ialah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.[5] Hamzah B. Uno, mengaskan bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau wibawa yang perlu ditiru dan diteladani.[6]
Menurut al-Ghazali, seseorang dinamai guru apabila memberitahukan sesuatu kepada siapa pun. Memang, seorang guru adalah orang yang ditugaskan di suatu lembaga untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada pelajar dan pada gilirannya dia memperoleh upah atau honorarium. Akan tetapi, di dalam beberapa risalah filsafat al-Ghazali, seseorang yang memberikan hal apa pun yang bagus, positif, kreatif, atau bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam tingkat kehidupannya yang mana pun, dengan jalan apa pun, dengan cara apa pun, tanpa mengharapkan balasan uang kontan setimpal apa pun adalah guru atau ulama.[7]
Sedangkan menurut Sardiman A.M. guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan.[8]
Secara etimologi pendidik adalah orang yang melakukan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam pendidikan.[9]
Di dalam literatur kependidikan Islam, pendidik biasa disebut sebagai berikut[10]:
Pola pikir semacam itu diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk guru-guru muslim seperti Muhammad Naquib al-Atas. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, beliau membedakan secara tajam antara kata “ta’dib” (pendidikan) dan “tarbiyah” atau “ta’lim” (pengajaran). Bahkan beliau tidak setuju bila kedua istilah itu digunakan dalam konsep pendidikan Islam.[14]
Jadi, pada dasarnya, pendidikan dan pengajaran atau ta’dib dan ta’lim, mengajar dan mendidik, pengajar dan pendidik adalah sama. Keduanya tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu, walau al-Ghazali dalam konsep pendidikannya mengarah kepada pembentukan akhlak, beliau tidak menggunakan kata ta’dib tetapi hanya menggunakan kata ta’lim, beliau tidak membedakan kedua kata tersebut.
Perbedaan kata di atas biasanya didasarkan pada adanya penekanan makna masing-masing. Pendidikan lebih ditekankan kepada aspek nilai, sedangkan pengajaran pada aspek intelek. Tetapi apabila kita merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, keduanya tidak dibedakan. Al-Qur’an dan Sunnah tidak hanya menekankan teori mengesampingkan praktik, atau sebaliknya, menekankan praktik mengabaikan teori.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran di sekolah dan madrasah, guru memegang peran utama dan amat penting. Perilaku guru dalam proses pendidikan dan belajar akan memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian anak didiknya. Oleh karena itu, perilaku guru hendaknya dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan pengaruh baik kepada para anak didiknya. Karenanya, ada beberapa aspek perilaku guru yang harus dipahami antara lain berkenaan dengan peranan, syarat-syarat serta tugas dan tanggung jawab seorang guru.
____________________________________________
[1]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1984, h. 747.
[2]Al-Qur’anul Qarim Surah Az Zumar Ayat 9
[3]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1984, h. 277.
[4]Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Suntingan Abu Fajar Al Qalami, Gitamedia Press, Surabaya, 2003, h. 28.
[5]Dep. Pend. Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 288.
[6]H. Hamzah B. Uno, Profesi kependidikan. Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, h. 15.
[7]Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2005, h. 62.
[8]Sardiman A.M., Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 125.
[9]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005, h. 49.
[10]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005.
[11]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 13.
[12]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005, h. 50.
[13]Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 62.
[14]Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 63.
Ref: http://www.cantiknya-ilmu.co.cc
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”[2]
Guru juga bisa diambil dari kata ‘alima - ya’lamu yang artinya “mengajar”.[3] Dengan demikian, guru bukan hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan saja, akan tetapi dia harus mengerjakannya kepada orang lain. Sejalan dengan yang dikatakan oleh al-Ghazali:
Barangsiapa yang berilmu, beramal dan mengerjakan, berarti ia merupakan orang yang disebut sebagai hamba mulia di kerajaan langit. Ia bagaikan matahari yang menerangi orang lain dan menerangi diri sendiri. Ia seperti minyak wangi yang membuat orang lain ikut harum dan mengahrumkan dirinya sendiri. Sebaliknya orang yang berilmu namun enggan mengamalkannya, bagaikan buku yang memberi manfaat, sedangkan ia sendiri sepi dari ilmu. Bagaikan batu asahan yang menajamkan tetapi ia sendiri tidak mampu memotong.[4]
Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, guru ialah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.[5] Hamzah B. Uno, mengaskan bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau wibawa yang perlu ditiru dan diteladani.[6]
Menurut al-Ghazali, seseorang dinamai guru apabila memberitahukan sesuatu kepada siapa pun. Memang, seorang guru adalah orang yang ditugaskan di suatu lembaga untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada pelajar dan pada gilirannya dia memperoleh upah atau honorarium. Akan tetapi, di dalam beberapa risalah filsafat al-Ghazali, seseorang yang memberikan hal apa pun yang bagus, positif, kreatif, atau bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam tingkat kehidupannya yang mana pun, dengan jalan apa pun, dengan cara apa pun, tanpa mengharapkan balasan uang kontan setimpal apa pun adalah guru atau ulama.[7]
Sedangkan menurut Sardiman A.M. guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan.[8]
Secara etimologi pendidik adalah orang yang melakukan bimbingan. Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam pendidikan.[9]
Di dalam literatur kependidikan Islam, pendidik biasa disebut sebagai berikut[10]:
- Ustadz, yaitu seorang guru dituntut untuk komitmen terhadap profesinya, ia selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zaman.
- Mu’allim, berasal dari kata dasar ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Ini mengandung makna bahwa guru adalah orang yang dituntut untuk mampu menjelaskan hakikat dalam pengetahuan yang diajarkannya.
- Murabbi, berasal dari kata dasar rabb. Tuhan sebagai Rabbal alamin dan Rabb an Nas yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Dilihat dari pengertian ini maka guru adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
- Mursyid, yaitu seorang guru yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan atau kepribadian kepada peserta didiknya.
- Mudarris, berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdasakan peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[11]
- Muaddib, berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Artinya guru adalah orang yang beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa depan.[12]
Pola pikir semacam itu diikuti oleh tokoh-tokoh pendidikan di dunia Timur, termasuk guru-guru muslim seperti Muhammad Naquib al-Atas. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, beliau membedakan secara tajam antara kata “ta’dib” (pendidikan) dan “tarbiyah” atau “ta’lim” (pengajaran). Bahkan beliau tidak setuju bila kedua istilah itu digunakan dalam konsep pendidikan Islam.[14]
Jadi, pada dasarnya, pendidikan dan pengajaran atau ta’dib dan ta’lim, mengajar dan mendidik, pengajar dan pendidik adalah sama. Keduanya tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu, walau al-Ghazali dalam konsep pendidikannya mengarah kepada pembentukan akhlak, beliau tidak menggunakan kata ta’dib tetapi hanya menggunakan kata ta’lim, beliau tidak membedakan kedua kata tersebut.
Perbedaan kata di atas biasanya didasarkan pada adanya penekanan makna masing-masing. Pendidikan lebih ditekankan kepada aspek nilai, sedangkan pengajaran pada aspek intelek. Tetapi apabila kita merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, keduanya tidak dibedakan. Al-Qur’an dan Sunnah tidak hanya menekankan teori mengesampingkan praktik, atau sebaliknya, menekankan praktik mengabaikan teori.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran di sekolah dan madrasah, guru memegang peran utama dan amat penting. Perilaku guru dalam proses pendidikan dan belajar akan memberikan pengaruh dan corak yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian anak didiknya. Oleh karena itu, perilaku guru hendaknya dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan pengaruh baik kepada para anak didiknya. Karenanya, ada beberapa aspek perilaku guru yang harus dipahami antara lain berkenaan dengan peranan, syarat-syarat serta tugas dan tanggung jawab seorang guru.
____________________________________________
[1]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1984, h. 747.
[2]Al-Qur’anul Qarim Surah Az Zumar Ayat 9
[3]Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Jakarta, 1984, h. 277.
[4]Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Suntingan Abu Fajar Al Qalami, Gitamedia Press, Surabaya, 2003, h. 28.
[5]Dep. Pend. Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 288.
[6]H. Hamzah B. Uno, Profesi kependidikan. Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, h. 15.
[7]Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Pustaka Setia, Bandung, 2005, h. 62.
[8]Sardiman A.M., Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 125.
[9]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005, h. 49.
[10]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005.
[11]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 13.
[12]Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, cet. ke- IV, Kalam Mulia, Jakarta, 2005, h. 50.
[13]Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 62.
[14]Abidin Ibnu Rusd, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 63.
Ref: http://www.cantiknya-ilmu.co.cc